Coping with Loss & Gieving

Loss (kehilangan) adalah situasi aktual/potensial dimana seseorang/obyek yang berharga atau sesuatu yang disukai tidak bisa lagi dilihat sebagai sesuatu yang berharga. Pengalaman kehilangan dapat berupa kehilangan gambaran diri, orang lain yang berarti, kesehatan, pekerjaan, keyakinan dan lain-lain.

Tipe-tipe ‘kehilangan’ :
1. Actual loss (kehilangan aktual)
Kehilangan yang nyata (aktual) dapat dilihat oleh orang lain dan dapat timbul baik sebagai respon maupun situasi yang diantisipasi terlebih dahulu
Misalnya seorang wanita yang suaminya dalam keadaan sakratul maut, ia menghadapi situasi seolah-olah kehilangan sudah terjadi karena ia tahu bahwa suaminya pasti akan segera mati
2. Perceived loss (kehilangan yang dipikirkan)
Ini adalah pengalaman kehilangan yang dialami seseorang tetapi tidak dapat dibuktikan oleh orang lain biasanya akibat kehilangan secara psikologis. Misalnya seorang wanita karir harus berhenti bekerja karena merawat anaknya di rumah, bisa merasakan kehilangan kebebasan atau kemandiriannya
3. Anticipatory loss (kehilangan yang sudah diantisipasi terlebih dahulu)
Ini adalah rasa kehilangan sebelum kehilangan yang sesungguhnya terjadi. Seseorang merasa terancam akan kehilangan sesuatu.

Sumber-sumber kehilangan :
1. Aspek diri
Kehilangan aspek diri meliputi kehilangan dalam gambaran diri, kehilangan kesehatan atau juga kematian diri sendiri yang akan datang. Setiap orang mempunyai persepsinya yang berbeda-beda terhadap gambaran dirinya. Tingkat kehilangan yang dirasakan seseorang tergantung dari kematangan seseorang dalam konsep diri. Seringkali perubahan dalam gambaran tubuh tersebut mempengaruhi peran sosial seseorang. Misalnya bekas luka bakar di wajah bisa jadi dianggap ‘suatu kehilangan’ bagi seorang wanita; kehilangan salah satu organ tubuh akibat penyakit; proses perceraian yang menyebabkan kehilangan rumah, finansial, rutinitas sehari-hari; pada masa tua membuat orang kehilangan pekerjaan (pensiun), kemandirian, kesehatan, teman-teman & keluarga
2. Obyek eksternal
Kehilangan obyek eksternal meliputi :
1) Kehilangan benda mati yang penting, misalnya uang, kehilangan rumah akibat kebakaran
2) Kehilangan obyek berupa benda hidup, misalnya binatang/tanaman kesayangan
3. Lingkungan
Rasa kehilangan bisa timbul akibat seseorang terpisah dari lingkungan dan orang-orang yang dapat memberi rasa aman. Misalnya anak yang baru masuk sekolah TK pertama kali, atau remaja yang masuk universitas dantinggal jauh dari orangtua untuk pertama kalinya
4. Orang yang dikasihi
Seseorang kehilangan orang yang dikasihi akibat sakit, perpisahan atau kematian

Kehilangan merupakan suatu krisis situasional maupun krisis tumbuh kembang. Misalnya kehilangan pekerjaan tiba-tiba atau kehilangan seorang anak perempuan, ini menjadi krisis situasional. Sedangkan krisis tumbuh kembang bisa terjadi akibat pensiun pada masa lansia, kematian pasangan lansia, saat melepas anak keluar rumah. Krisis tumbuh kembang tentu saja dapat diantisipasi sebelumnya dan dipersiapkan agar individu dapat melalui krisis tersebut dengan koping yang adekuat. Respon seseorang terhadap kehilngan sangat dipengaruhi oleh perkembangan, kekuatan yang ada dalam dirinya serta dukungan sosial.

BEREAVEMENT
Bereavement adalah respon subyektif terhadap kehilangan seseorang yang sangat berarti akibat kematian.
Grief (berduka) adalah respon emosional akibat kehilangan dan dinyatakan dalam pikiran/gagasan, perasaan & perilaku. Berduka bisa berlangsung 2 bulan sampai 1 tahun atau lebih
Mourning (berkabung) adalah proses perubahan perilaku yang dilalui dimana berduka akhirnya terselesaikan atau dirubah, seringkali dipengaruhi oleh adat & budaya. Bereavement & grief tidak bisa dipandang sebagai satu krisis tunggal tetapi merupakan krisis yang berkelanjutan yang merupakan masa transisi kehidupan.

USIA & DAMPAK KEHILANGAN
Usia seseorang mempengaruhi pemahaman dan reaksi terhadap kehilangan. Dengan semakin banyaknya pengalaman hidup, semakin meningkat pula pemahaman seseorang terhadap kehidupan, kehilangan dan kematian. Sangat sulit mempersiapkan seseorang agar memiliki respon terhadap kehilangan yang baik, karena pengalaman kehilangan tidak bisa diramalkan. Pengalaman akibat kehilangan pada masa sekarang atau sebelumnya akan semakin menguatkan seseorang ketika menghadapi kehilangan yang lebih besar di masa yang akan datang. Misalnya kehilangan binatang kesayangan, teman, benda-benda, pekerjaan dll akan mempersiapkan seseorang dalam menghadapi kehilangan yang lebih berat nantinya.
1. Masa kanak-kanak
Anak-anak tidak hanya mengadopsi pemahaman orangtua mereka tentang kehilangan tetapi juga respon orangtuanya terhadap kehilangan. Kehilangan orangtua atau orang-orang penting dalam hidup anak-anak dapat mempengaruhi perkembangan mereka, seringkali terjadi regresi yaitu kembali ke masa perkembangan sebelumnya. Oleh karena itu perawat berperan penting dalam membantu anak-anak dalam proses berduka dan memulihkan kembali ke keadaan normal dengan tidak menghambat perkembangan emosional selanjutnya. Anak-anak dapat juga merasakan ketakutan, kesepian, terabaikan sehingga bisa mengancam integritas fisiologisnya. Penelitian membuktikan bahwa kehilangan orangtua akibat kematian atau perceraian berhubungan dengan meningkatnya resiko depresi atau bunuh diri pada masa dewasa.
2. Remaja dan dewasa muda
Semakin dewasa seseorang, kehilangan menjadi pengalaman yang sudah biasa/normal. Misalnya akhirnya orangtuanya meninggal pada usia tua. Koping yang adekuat terhadap kehilangan merupakan salah satu tugas tumbuh kembang golongan usia dewasa muda. Kehilangan orangtua merupakan tanda bahwa struktur inti keluarga sudah mulai terpecah. Hal ini akan mengingatkan seorang dewasa muda bahwa ia sudah termasuk golongan yang lebih tua dan akan semakin dekat dengan kematian juga. Tantangan perawat dalam krisis kehilangan pada masa ini adalah mengkaji peninggalan psikologis orangtuanya termasuk arti hubungan orangtua dan akan sebelumnya. Misalnya karena hubungan yang banyak konflik antar anak & orangtua, saat kematian orangtua merupakan saat bebasnya energi yang selama ini dihabiskan untuk konflik, sehingga bisa disalurkan ke arah perkembangan yang lebih produktif.
3. Dewasa tua
Kematian pada dewasa tua sering terjadi, tetapi respon individu terhadap kematian tetap berbeda-beda. Biasanya krisis ini bersamaan dengan semakin banyaknya penyakit pada janda/duda yang ditinggalkan, sehingga perawat harus memperhatikan dampak dari respon berduka terhadap seorang dewasa tua.












Perkembangan pemahaman akan konsep kematian

Usia Keyakinan/perilaku
Bayi – 5 tahun Belum memahami konsep kematian
Rasa terpisah bayi saat ini merupakan dasar terbentuknya pemahaman tentang kehilangan dan kematian pada usia selanjutnya
Kepercayaan tentang kematian masih bisa berubah-ubah, misalnya pergi jauh, tidur lama dll
Mereka berpikir bahwa tidak bergerak adalah tanda kematian
5 – 9 tahun Memahami bahwa kematian adalah akhir dari sesuatu
Percaya bahwa kematiannya sendiri tidak bisa dielakkan
Menghubungkan kematian dengan penyerangan atau kekerasan
Percaya bahwa kematian merupakan dampak dari keinginan atau perilaku yang sebenarnya tidak menyebabkan kematian itu sendiri
9 – 12 tahun Memahami bahwa kematian merupakan akhir hidup yang tidak dapat dielakkan
Mulai mengerti kematiannya sendiri, dinyatakan dalam ketertarikan akan situasi setelah kematian atau takut mati
Menyatakan idenya sendiri tentang kematian yang didapatnya dari orangtua maupun orang dewasa lainnya
12 – 18 tahun Takut akan kematian yang tidak pasti datangnya
Membayangkan bahwa kematian merupakan hal yang menantang sehingga banyak melakukan hal-hal yang seolah-olah menantang maut seperti berkebut-kebutan, memakai narkoba
Merasa bebas berpikir tentang kematian, tetapi mulai memandangnya dari nilai religius atau filosofik
Sepertinya sudah memperoleh konsep kematian yang benar tetapi seringkali tidak bia menerimanya secara emosional
Masih memegang keyakinannya tentang kematian dari persepsi sebelumnya
18 – 45 tahun Memiliki sikap yang jelas tentang kematian, biasanya dipengaruhi oleh keyakinan dan nilai-nilai budayanya
45 – 65 tahun Menerima kematiannya sendiri
Mengalami kematian orangtuanya atau temannya
Mengalami kecemasan yang tinggi tentang kematian
Kecemasan tentang kematian berkurang dengan adanya rasa sejahtera
> 65 tahun Takut akan penyakit-penyakit kronis
Mengalami kematian anggota keluarga dan teman-teman
Memandang kematian sebagai pengalaman bebas dari rasa sakit, pertemuan dengan orang-orang yang sudah meninggal sebelumnya
(Development of the concept of death, Kozier et al, 1991; 817)
















Tahap-tahap bereavement menurut Sander’s :

Fase Deskripsi Respon
Shock (terkejut) Orang yang ditinggalkan masih merasa bingung, tidak percaya akan kejadian tersebut. Tidak bisa berfikir dengan jernih. Reaksi ini bisa bertahan beberapa jam atau beberapa hari Tidak percaya
Bingung
Lemas
Merasa tidak nyata
Regresi, merasa tidakberdaya
Gejala fisik ; mulut & tenggorokan kering, nafas panjang, menangis, otot lemas, gemetar, gangguan tidur, tidak nafsu makan
Gejala psikologis : bingung terhadap obyek yang terhilang
Awareness of loss (sadar akan kehilangan) Teman & keluarga mengingatkan kembali tentang aktivitas yang normal. Orang yang kehilangan merasakan penuh arti kehilangan Cemas akibat perpisahan
Konflik
Mengungkapkan harapan emosional
Gejala fisik : menangis, gangguan tidur
Gejala psikologis : marah, merasa bersalah, frustrasi, malu, sensitif, tidak percaya, menolak, bermimpi, merasakankehadiran obyek yang terhilang, takut akan kematian
Concervation/withdrawal (akhir) Ingin sendirian untuk memulihkan energi secara fisik & emosional. Bantuan dari lingkungan sudah mulai berkurang sehingga ia merasa diabaikan dan merasa perlu pertolongan Gejala fisik : lemah, pusing, mengantuk, penurunan kekebalan tubuh
Gejala psikologis : menarik diri, teringat akan obyek yang terhilang, mulai mengharapkan sesuatu yang baru
Healing : the curning point (pemulihan) Orang yang kehilangan mulai berusaha mandiri Gejala fisik : energi tubuh pulih, tidur cukup, daya tahan tubuh meningkat
Gejala psikologis : memaafkan, melupakan, mencari arti dan harapan baru
Renewal (pembaharuan) Mulai mengambil tanggungjawab terhadap diri sendiri, belajar tidak tergantung pada obyek yang sudah hilang Fungsi tubuh stabil
Bertanggungjawab terhadap diri sendiri
Gejala psikologis : kesepian, mengenang masa lalu, mengembangkan relasi dengan orang lain
















TAHAP-TAHAP BERDUKA
Martocchio Kubler Ross Engel’s
Tahap Respon Tahap Respon Tahap Respon
Shock & disbelief (terkejut & tidak percaya) Feeling of numbness, depresi, merasa bersalah, marah. Rasa tidak percaya atau penolakan masih tetap ada walaupun secara sadar ia tahu bahwa sesuatu telah hilang dari dirinya (subyek, benda, dll) Denial Menolak kejadian
Tidak siap dengan masalah yang ditimbulkan
Memperlihatkan kesenangan yang dibuat-buat untuk memperpanjang fase denial Shock & disbelief Menolak untuk menerima kehilangan
Merasa heran
Menerima secara sadar tetapi secara emosional masih menolak
Yearning (rindu) & protest Rasa marah diarahkan pada orang yang meninggal, atau Tuhan, atau pemberi asuhan atau orang lain. Anger Marah terhadap perawat atau RS tentang hal-hal yang sebenarnya tidak mengganggu mereka (sepele) Developing awareness (mengembangkan kesadaran) Kenyataan akan kehilangan mulai mengakar dalam kesadarannya
Marah
Menangis & menyalahkan diri sendiri
Anguish (sedih), disorganization (kacau) & despair (putus asa) Depresi, menangis, kehilangan semangat akan masa depan, sulit mengambil keputusan, Bargaining Menawarkan sesuatu untuk menghindari kehilangan
Menyatakan rasa bersalah atau takut dihukum akibat perbuatannya di masa lalu Restitution (penggantian) Ritual berkabung misalnya menguburkan, kebaktian penghiburan
Identification in bereavement Menampilkan perilaku, perangai, kebiasaan & keinginan orang yang meninggal Depression Berduka atas apa yang sudah terjadi ataupun apa yang tidak dapat dicapai
Mau berbicara terbuka tentang kehilangannya atau justru menarik diri Resorving the lost Mencoba menghadapi rasa duka
Tetap tidak bisa menerima objek yang baru sebagai pengganti orang yang hilang
Menerima bantuan dari orang lain
Memikirkan kembali atau membicarakan kenang-kenangan dari orang yang baru saja meninggal



Martocchio Kubler Ross Engel’s
Tahap Respon Tahap Respon Tahap Respon
Reorganization & restitution Kembali stabilnya seseorang berbeda rentang waktunya, bisa < 1 tahun atau sampai beberapa tahun. Walaupun sudah merasa tenang, rasa duka tidak bisa dihilangkan begitu saja. Suatu saat rasa duka masih bisa dirasakan Acceptance Menurunnya ketertarikan terhadap lingkungan maupun orang-orang di sekelilingnya
Mulai membuat rencana-rencana atau harapan perbaikan Idealization Membayangkan raut muka orang yang meninggal
Menekan semua perasaan negatif terhadap obyek yang meninggal
Merasa bersalah dan menyesal tentang perbuatannya yang kurang baik terhadap obyek yang meninggal
Secara tidak sadar menginternalisasi obyek yang meninggal
Mengingat obyek yang meninggal membangkitkan rasa kesedihan walaupun hanya sedikit
Mulai berhubungan kembali dengan
orang lain
Out come (hasil akhir) Perilaku ini dipengaruhi oleh beberapa faktor :
Arti penting obyek yang terhilang, tingkat ketergantungan dalam hubungan, tingkat ambivalensi, jumlah dan pola hubungan dengan orang lain, jumlah dan pola pengalaman berduka sebelumnya
(Anger,Grief & Grieving. American Journal and Nursing, September 1964,dikutip oleh Kozier at all 1991;820)





Tipe-tipe berduka:
1. Abbreviated grief (berduka singkat)
Berduka ini benar-benar terjadi tetapi segera hilang. Obyek yang terhilang mungkin tidak terlalu berarti bagi klien atau sudah diganti dengan segera dengan obyek yang lain.
2. Anticipatory grief
Anticipatory grief adalah rasa duka terhadap kehilangan yang masih akan dialami. Misalnya seorang istri yang suaminya sekarat, atau seorang gadis yang akan menjalani operasi di wajahnya yang pasti akan meninggalkan bekas yang buruk
3. Pathologic or dysfunctional grief
a. Unresolved grief
Unresolved grief adalah berduka yang lama dan berat
b. Inhibited grief
Inhibited grief adalah berduka tetapi gejala-gejalanya secara emosional ditekan tetapi nantinya akan muncul gejala somatik
Dysfunctional grieving ditandai dengan :
a. Klien gagal berduka akibat kematian orang yang dicintai, misalnya tidak menangis, tidak hadir pada pemakaman
b. Gejala-gejala akan muncul lagi pada saat-saat tertentu, misalnya pada hari peringatan kematian, hari raya dll
c. Menolak mengunjungi makam dan menolak upacara-upacara peringatan orang yang meninggal, walaupun peringatan tersebut adalah bagian dari budayanya
d. Masih terus mencari orang yang meninggal walaupun sudah lama
e. Tetap belum bisa membicarakan obyek yang hilang, misalnya selalu berkaca-kaca, suara menjadi serak
f. Setelah waktu yang lama masih melaporkan keluhan-keluhan fisik
g. Relasi dengan orang lain memburuk
Faktor-faktor yang mempengaruhi unresolved grief :
a. Ambivalensi
b. Takut kehilangan kontrol di depan orang lain
c. Kehilangan banyak obyek secara bersamaan, misalnya seluruh anggota keluarga
d. Punya hubungan emosional yang sangat dalam dengan obyek yang hilang
e. Kehilangan yang tidak terduga, misalnya meninggal dalam tugas
f. Kurang dukungan
g. Kehilangan akibat kejadian yang sulit diungkapkan misalnya akibat bunuh diri, keguguran, anak diadopsi dll


ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN
YANG MENGALAMI KEHILANGAN DAN BERDUKA

PENGKAJIAN
Dalam merawat klien yang mengalami krisis kehilangan dan berduka, hal-hal yang perlu dikaji perawat :
1. State of awareness (tingkat kesadaran)
2. Gejala-gejala berduka
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi respon kehilangan

State of awareness
Tingkat kesadaran yang ditampilkan pasien terminal dan keluarganya mempengaruhi tindakan perawat dalam berkomunikasi dengan klien maupun tim kesehatan yang lain.
Menurut Strauss & Glaser (1970) dikutip oleh Kozier (1991), tipe-tipe tingkat kesadaran ada 3 :
1. Closed awareness (kesadaran tertutup)
Pada saat ini pasien & keluarga tidak memperdulikan kematian yang belum terjadi. Biasanya karena mereka belum memahami mengapa klien menderita sakit dan masih berharap akan sembuh. Dokterpun berpendapat bahwa klien belum perlu diberitahu kondisi klien. Perawat sering mengalami dilema etik karena pada dasarnya klien berhak tahu apa yang terjadi dan pada akhirnya meraka akan tahu juga kondisi yang sesungguhnya
2. Mutual pretense
Klien, keluarga dan tim kesehatan sudah tahu pasti kondisi terminal tetapi masih belum mau membicarakannya. Kadang-kadang klien menahan diri untuk tidak mendiskusikan kematiannya untuk melindungi keluarga dari perasaan tertekan atau juga merasa tidak nyaman terhadap petugas kesehatan. Mutual pretense memberi kesempatan klien mendapatkan privasi tetapi kejadian ini akan memberatkan pasien yang sekarat karena ia tidak punya siapa-siapa untuk membantunya menghadapi ketakutan
3. Open awareness (kesadaran terbuka)
Klien dan keluarga sudah mengetahui kondisi terminal dan mulai merasa nyaman untuk mendiskusikannya walaupun berat. Pada tahap ini klien bisa diajak merencanakan kegiatan dalam akhir hidupnya bahkan sampai dengan pemakamannya. Tetapi tidak semua orang bisa mencapai situasi seperti ini.

Gejala berduka
Gejala berduka menurut Schulz (1978) dikutip oleh Kozier (1991) :
1. Muncul gejala somatik
2. Rasa tertekan di dada
3. Nafas pendek-pendek atau tertahan
4. Berkaca-kaca
5. Perut rasa kosong
6. Hilangnya kekuatan otot
7. Keluhan-keluhan subyektif
Selain gejala-gejala tersebut perawat harus mengkaji tanda-tanda fisik yang timbul karena kehilangan dapat memicu reaksi stres secara fisiologis.

Gejala berduka harus dibedakan dengan depresi :
Berduka Depresi
Merupakan respon yang sehat Merupakan respon yang tidak sehat
Sembuh sendiri Tidak bisa sembuh sendiri
Sedikit rasa bersalah Rasa bersalah yang berlebihan
Harga diri masih utuh Kehilangan harga diri
Sedih Putus asa, merasa tidak berdaya, merasa hancur
Kemampuan untuk memenuhi ADL masih baik Tidak mampu memenuhi ADL secara mandiri
Tidak ada gangguan fisiologis Diikuti ketidakseimbangan fisiologis
Hilangnya minat terhadap kesenangan sementara Kehilangan minat terhadap kesenangan menetap

Faktor yang mempengaruhi reaksi terhadap kehilangan :
1. Makna kehilangan bagi seseorang
Faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang dalam memaknai sebuah kehilangan :
a. Karakteristik orang yang ditinggalkan (Usia, kesehatan fisik & mental)
b. Arti seseorang atau benda atau bagian tubuh yang terhilang atau keakraban hubungan dengan orang/obyek yang terhilang (semakin akrab akan semakin besar respon kehilangan)
c. Derajad perubahan yang terjadi akibat kehilangan
d. Keyakinan & nilai individu
e. Sifat kehilanagn./kematian (apakah meninggal dengan baik atau dalam keadaan yang tidak diinginkan, meninggalkan konflik yang belum diselesaikan)
2. Budaya
Budaya mempengaruhi seseorang dalam mengekspresikan rasa kehilangan.
3. Keyakinan spiritual
Keyakinan spiritual sangat besar pengaruhnya terhadap reaksi emosional maupun perilaku yang dimunculkan seseorang. Biasanya agama tertentu mempunyai ritual untuk orang yang dalam sakratul maut yang dapat memberikan rasa aman bagi klien sendiri maupun keluarganya. Perawat perlu membantu mempertemukan klien dengan pemuka agama yang dibutuhkan saat itu
4. Peran jenis kelamin
Pada komunitas tertentu, pria diharapkan menjadi orang yang kuat sehingga menangis, mengekspresikan duka merupakan hal yang tabu bagi pria, sedangkan wanita dianggap sebagai pribadi yang emosional sehingga jika ia berespon dengan menangis, lemas, mengekspresikan duka dianggap sebagai hal yang wajar.
5. Sifat dari jaringan dukungan
6. Status sosial ekonomi
Status sosial ekonomi dapat dipengaruhi ataupun mempengaruhi respon berduka serta sistem pendukung yang bisa didapatkan. Misalnya seorang yang kehilangan tangannya akibat amputasi akan menyebabkan dia tidak bisa bekerja. Sedangkan seorang peserta asuransi, tidak akan kesulitan mengurus keperluan-keperluan setelah kematian karena asuransi menyediakan jaminan kematian

DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa NANDA yang dapat diterapkan pada kasus kehilangan dan berduka antara lain :
1. Anticipatory grieving (Berduka, diantisipasi)
Berduka yang diantisipasi merupakan respon yang sehat, tetapi dapat diangkat sebagai diagnosa keperawatan jika klien mengungkapkan merasa menderita, marah, atau bersalah tentang kehilangan yang masih akan terjadi serta menunjukkan perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, aktivitas sehari-hari dan komunikasinya.
2. Dysfunctional grieving (Berduka, disfungsional)
Pernyataan diagnosa ini dipakai jika individu atau sekelompok mengalami berduka yang tidak terselesaikan dalam waktu lama dan tetap menunjukkan perilaku yang menyimpang. Diagnosa ini tidak boleh diangkat sampai beberapa bulan atau beberapa tahun setelah kehilangan
3. Impaired adjusment
Diagnosa ini bisa diangkat pada kasus kehilangan anggota badan atau fungsi tubuh. Pernyataan ini menunjukkan seseorang yang tidak dapat mengadakan penyesuaian diri setelah mengalami perubahan status kesehatan. Klien mengungkapkan tidak bisa menerima kejadian ini, malas bergerak sehingga tingkat ketergantungan tinggi. Diagnosa ini bisa diterapkan pada orang yang mengalami kehilangan maupun orang lain. Misalnya seorang suami yang istrinya sekarat, bisa merasa kebingungan menghadapi rutinitas sehari-hari yang biasanya dilakukan oleh istri misalnya merawat bayi, memasak, memelihara rumah dll
4. Social isolation (Isolasi sosial)
Rasa duka yang dalam dapat mengakibatkan seseorang menarik diri dari orang sekitarnya. Klien tampak bersedih, ekspresi datar, tidak mau berkomunikasi, menyatakan kesepian dan kurang dukungan dari orang-orang disekitarnya. Perawat membantu klien menjalin hubungan dengan lingkungannya
5. Perubahan proses keluarga
Pernyataan ini dapat diangkat jika suatu keluarga tidak dapat lagi menjalankan fungsinya secara normal

PERENCANAAN
Tujuan perawatan klien yang berduka akibat kehilangan adalah klien mampu membicarakan mengenai obyek yang terhilang tanpa mengalami kedukaan yang mendalam dan mengarahkan energinya untuk hidupnya sendiri serta memulihkan kemampuan untuk mengasihi. Menurut Martocchio (1985) dikutip oleh Kozier (1991), klien yang berduka perlu untuk :
1. Merasa bebas dari ikatan emosional terhadap obyek yang terhilang
2. Dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan
3. Dapat membangun hubungan baru
4. Merasa nyaman dengan kenangan pahit maupun manis dengan obyek yang terhilang

Contoh kriteria hasil yang diharapkan dalam kasus berduka akibat kehilangan :
Klien akan :
1. Mengekspresikan rasa sedihnya (marah atau kehilangan)
2. Membagi isi pikiran dan perasaannya pada orang lain
3. Menggunakan sumber-sumber yang adekuat (misalnya teman, kelompok pendukung dll)
4. Melanjutkan aktivitas sehari-hari (makan, bekerja, rekreasi dll)
5. Mempertahankan hubungan dengan orang lain secara konstruktif
6. Membangun hubungan baru
7. Mengungkapkan dapat terlaluinya masa berduka/berkabung
8. Mengidentifikasi alternatif tindakan untuk mencapai tujuan-tujuan penting dalam hidupnya sebelum terjadi kehilangan

Intervensi perawat pada klien yang ‘berduka akibat kehilangan’ secara umum :
1. Beri kesempatan klien terlibat dalam ‘menceritakan kisahnya dalam kehilangan”
2. Kenali & terima variasi emosi yang dinyatakan klien
3. Bantu untuk mengungkapkan perasaan yang sulit seperti marah & sedih, pahami bahwa setiap orang mempunyai cara tersendiri untuk menyatakan perasaannya
4. Libatkan anak-anak dalam proses berduka
5. Beri semangat klien supaya selama berkabung tetap menjalin hubungan dengan orang lain
6. Beritahu manfaat kelompok pendukung
7. Beri semangat anggota keluarga untuk melakukan perawatan diri sebagai pemberi asuhan
8. Beritahukan manfaat konseling pada kasus yang sulit diatasi sendiri

Tindakan keperawatan jika dihubungkan dengan tahap-tahap berduka menurut Kubler Ross :
Tahap Tindakan perawat
Denial 1. Beri dukungan verbal terhadap penolakan klien (jangan dibantah)
2. Hati-hati supaya perawat tidak justru ikut-ikutan menolak kejadian kehilangan
Marah 1. Bantu klien memahami bahwa marah adalah proses yang normal/wajar
2. Hindari menghentikan atau membalas dendam terhadap kemarahan klien, jangan menghadapi kemarahan klien seorang diri
3. Jangan membantah kebutuhan yang mendasari munculnya rasa marah
4. Tetap berikan rasa aman klien saat marah
5. Bantu klien mengendalikan diri semaksimal mungkin
Tawar menawar 1. Dengarkan dengan penuh perhatian dan bantu klien berbicara untuk melepaskan rasa bersalah maupun ketakutan yang irasional
2. Beri dukungan spiritual jika perlu
Depresi 1. Bantu klien mengekspresikan kesedihannya
2. Berkomunikasi secara nonverbal dengan duduk tenang tanpa mengharap respon verbal dari klien
3. Berikan sentuhan
4. Beritahu keluarga pentingnya tetap mendampingi klien dengan tenang
Menerima 1. Bantu keluarga dan teman bahwa klien mengalami penurunan minat untuk bersosialisasi dan hanya perlu mendapat kunjungan singkat dan tenang
2. Bantu klien berpartisipasi sebanyak mungkin dalam program terapi

IMPLEMENTASI
Kompetensi utama yang diperlukan agar dapat merawat klien yang berduka akibat kehilangan adalah kemampuan mendengar dengan penuh perhatian, tenang, mampu bertanya secara terbuka maupun tertutup, menggunakan paraprase, klarifikasi perasaan dan refleksi serta mengambil kesimpulan. Cara berkomunikasi dengan klien ini juga harus sesuai dengan tahap-tahap berduka yang sedang dialami, oleh karena itu perawat harus mempunyai kemampuan mengkaji klien sedang berada pada tahap yang mana.

EVALUASI
Evaluasi pada klien yang berduka sulit dilakukan karena memerlukan waktu yang lama. Kriteria evaluasi harus dibuat secara bertahap sesuai dengan tujuan yang dibuat oleh klien dan keluarganya sendiri

Buku Sumber :
Bininger et al. (1995). American Nursing Review for NCLEX, third edition. Springhouse Corporation. Springhouse, Pennsylvania
Kozier, Erb & Olivieri. (1991). Fundamental of Nursing Concepts, Process & Practice, volume III. Addison-Wesley Publishing Company, Inc. Redwood City California
Marthoccio, Bernita C. (----). Sakaratul Maut, Maut & Ditinggal Maut dalam buku Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Unit I. Terj. Yayasan IAPK Pajajaran Bandung.
PERAWATAN KLIEN DALAM SAKRATUL MAUT

PENGKAJIAN
Definisi kematian :
1. Mati jantung paru (Heart-Lung Death)
Ini adalah keadaan tidak adanya nadi apikal, respirasi dan tekanan darah. Tahun 1968, definisi ini diperbarui oleh World Medical Assembly menjadi keadaan :
1) Tidak ada respon terhadap stimuli eksternal
2) Tidak ada pergerakan otot khususnya pernafasan
3) Tidak ada reflek
4) Ensefalogram lururs (tidak ada aktifitas otak)
2. Mati otak (Cerebral Death or Higher Brain Death)
Kematian ini terjadi saat pusat otak yaitu korteks serebral mengalami kerusakan permanen sehingga pasien mengalami kehilangan fungsi serebral permanen, tetapi aktivitas jantung masih ada. Tanda-tandanya antara lain :
1) Tidak ada reflek sepalik
2) Apnea
3) Isoelektrik ensefalogram selama 30 menit walaupun pasien tidak mengalami hipotermia maupun mendapat terapi penekan susunan saraf pusat (CNS depressant)
Tanda-tanda kematian akan datang :
1. Kehilangan tonus otot
1) Otot wajah relaksasi (misalnya dagu terkulai)
2) Sulit berbicara
3) Sulit menelan, kehilangan reflek gag
4) Penurunan aktivitas gastrointestinal : mual, perut kembung, distensi abdomen, retensi fese terutama jika mendapat terapi narkotik atau transquilizer
5) Kehilangan kontrol terhadap sfingter (inkontinensia urine/feses)
2. Sirkulasi melambat
1) Sensasi melambat
2) Perubahan warna kulit (sianosis ekstremitas, bercak-bercak pucat)
3) Kulit dingin mulai kaki merambat ke atas, tetapi pasien bisa teraba hangat jika mengalami hipertermia
3. Perubahan TTV
1) Nadi melemah & melambat
2) Tekanan darah menurun
3) Pernafasan cepat, melambat, tidak teratur atau tidak normal : Chyene-stokes, sekret banyak, mukosa kering karena bernafas melalui mulut
4. Kerusakan sensori
1) Mata kabur
2) Kehilangan kemampuan merasa dan mencium

Pola Hidup-Sakratul Maut menurut Martocchio :
1. Puncak dan lembah





Karakteristik ini memiliki periode sehat yang tinggi (puncak) dan periode krisis (lemah). Puncak ketinggian merupakan masa yang penuh harapan, sedangkan keadaan lemah sebagai keadaan yang menakutkan, tertekan, mengerikan.
2. Dataran yang turun





Gambaran ini menunjukkan tahapan degeneratif yang terus bertambah dan diluar dugaan berlangsung dalam waktu yang tidak bisa ditentukan. Setelah keadaan menurun, klien tidak akan kembali pada kesehatan semula. Klien mengalami keraguan, apakah krisis lain akan menyusul dan menambah kemunduran.
3. Lereng menurun





Pola ini ditandai dengan keadaan yang menurun terus, jangka waktunya dapat diramalkan, biasanya cepat.
4. Landai turun sedikit demi sedikit



Keadaan klien menurun sedikit-sedikit, ditandai dengankeadaan yang surut perlahan hampir tidak teramati kemudian menghebat menuju maut.

Dimensi etik kematian
Dengan perkembangan teknologi memperpanjang kehidupan, kematian bisa menjadi dilema etik tersendiri. Kematian bisa membingungkan karena selang-selang dan mesin mempengaruhi sistem organ vital walaupun tidak ada lagi fungsi otak yang mengendalilkan fungsi vital tersebut. Pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul misalnya kapankan terapi medis tersebut dihentikan? Siapa yang menentukan? Munculnya istilah eutanasia yang berarti “kematian yang baik atau yang menyenangkan” menuntut perawat mengambil tindakan yang bijaksana. Perawat harus memahami nilai yang diyakininya, serta memahami hukum yang berlaku dalam hal tersebut. Eutanasia ada 2 jenis : aktif & pasif. Eutanasia aktif adalah mencabut kehidupan untuk menghindari penderitaan dan eutanasia pasif adalah membiarkan kematian terjadi untuk menghindari penderitaan.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang sering terjadi pada pasien yang sakratul maut adalah Ketakutan (Fear), Keputusasaan (Hopelessness) dan Ketidakberdayaan (Powerlessness)
1. Fear
Ketakutan adalah keadaan dimana seseorang mengalami suatu perasaan gangguan fisiologis atau emosional yang berhubungan dengan suatu sumber yang dapat diidentifikasi yang dirasakan sebagai bahaya. Hal-hal yang sering ditakutkan oleh pasien dalam sakratul maut :
1) Proses kematian
2) Kehampaan/kekosongan
3) Apa yang terjadi setelah kematian
4) Nyeri
5) Kerusakan fungsi tubuh
6) Hukuman
7) Tujuan yang tidak tercapai
8) Penolakan & penelantaran
9) Penghinaan
10) Diabaikan
11) Dampak buruk bagi orang yang ditinggalkan
12) Kesendirian
13) Ketergantungan
14) Penghancuran
Rumusan diagnosa keperawatannya adalah : Ketakutan berhubungan dengan :
1) Kurang pengetahuan (fokus pada nyeri & ketidakmampuan mengambil koping yang tepat)
2) Kurang dukungan sosial dalam situasi yang mengancam
3) Dampak buruk pada orang yang ditinggalkan

2. Hopelessness
Keputusasaan adalah keadaan emosional subyektif terus menerus dimana seseorang tidak melihat ada alternatif atau tersedia pilihan pribadi untuk memecahkan masalah-masalah atau untuk mencapai apa yang diinginkan dan tidak dapat menggerakkan energinya sendiri untuk menetapkan tujuan. Proses kematian membuat orang kehilangan harapan. Tanda-tanda pasien putus asa :
1) Pasif
2) Penurunan bicara
3) Penurunan afektif
4) Ungkapan verbal, “Saya tidak mampu/kuat lagi”
5) Menurunnya inisiatif
6) Menurunnya respon terhadap stimulus
Keadaan putus asa bisa berkembang pada kehilangan kepercayaan kepada Tuhan dan nilai-nilai spiritual yang diyakini.
Rumusan diagnosanya adalah : Keputusasaan berhubungan dengan :
1) Keterbatasan aktivitas yang lama akibat isolasi
2) Kondisi fisiologis yang menurun
3) Penyakit terminal
4) Stres yang lama (misalnya nyeri kronis)
5) Kehilangan orang yang dikasihi, kehilangan masa muda, pengaruh, kesempatan

3. Powerlessnes
Ketidakberdayaan adalah keadaan dimana seseorang merasa kurang kontrol terhadap kejadian atau situasi tertentu. Perilaku yang menunjukkan ketidakberdayaan :
1) Ungkapan verbal tidak bisa lagi mengendalikan situasi/tujuan
2) Frustrasi terhadap ketidakmampuan melakukan aktivitas yang sebelumnya bisa dilakukan
3) Perilaku agresif saat tujuan tidak tercapai
4) Tidak mampu berpartisipasi dalam membuat keputusan
5) Merasa tertekan atau tidak berdaya
Rumusan diagnosanya adalah : Ketidakberdayaan berhubungan dengan :
1) Penyakit-penyakit kronis
2) Penyakit-penyakit terminal
3) Lingkungan institusional
4) Interpersonal behavior of other

Contoh rumusan pengelompokan data dan diagnosa keperawatan pasien berduka & sakratul maut
Data Diagnosa Keperawatan
Ramon, 15 tahun, anak Ny Teresa Jimenez, menderita fibrosis kistik paru. Mereka sedang menunggu donor untuk transplantasi jantung-paru. Ibu itu berkata, “Kami sudah dipanggil untuk transplantasi 2x, tetapi belum juga dilakukan. Ramon sangat bersemangat lalu ia kecewa. Saya kuatir mereka tidak segera mendapat pendonor yang tepat. Saya tidak dapat makan dan minum karena kuatir. Saya tidak tahu apa yang dilakukan jika ia tidak mendapat pendonor. Dia satu-satunya yang saya miliki sejak suami saya meninggalkan kami 6 tahun yang lalu” Berduka diantisipasi berhubungan dengan kehilangan yang dipikirkan terhadap orang yang dikasihinya
Istri Tn. Tom Bauer menginggal 14 bulan yang lalu akibat aneurisma pada usia 59 tahun. Dia tinggal sendirian, tidak punya anak, tidak mau menemui teman-temannya. Dia melaporkan sering sakit kepala, tidak bisa konsentrasi saat bekerja, tidak nafsu makan, tidak bisa tidur. Gejala semakinberat saat ulang tahun istrinya & hari pernikahan mereka. Ia berkata,”Saya tetap belum bisa memahami kesedihannya. Kadang-kadang saya ingin mati saja dan bersama-sama dengan dia.” Berduka disfungsional berhubungan dengan tidak adekuatnya dukungan sosial
Data Diagnosa Keperawatan
John Yee, 63 tahun, mengalami kanker usus. Dia mengalami kehilangan energi akhir-akhir ini, lemas & mual. Ia mengalami jaundice. Ia berkata,”Saya tahu saya tidak bisa hidup lebih lama lagi. Mengapa mereka tidak memberi saya Morfin yang banyak supaya semuanya segera berakhir?” Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit terminal & ketidakmampuan mengakhiri hidup
Keisha Washington mengalami Multiple Skerosis, lumpuh dari leher ke bawah. Pikiran dan kemampuan bicaranya tidak mengalami gangguan. Dia minta bantuan untuk bunuh diri. Ia berkata,”Saya mengalami sakityang sama dengan kaka saya. Sebelum meninggal ia merasakan nyeri hebat dan menjadi buta.” Keputusasaan berhubungan dengan menurunnya fungsi fisiologis

PERENCANAAN
Kriteria hasil yang diharapkan untuk seorang dalam sakratul maut adalah klien akan :
1. Bebas rasa sakit
2. Berpartisipasi dalam perawatan dirinya
3. Mampu membuat pilihan dalam perawatan dan pengobatannya
4. Mengungkapkan perasaan marah, menderita dan kehilangan
5. Mempertahankan hubungan yang terbuka dengan pendukungnya maupun dengan staf perawat
6. Mengidentifikasi hal-hal yang bisa dikendalikannya
7. Mengungkapkan rasa kontrol terhadap situasi yang dihadapi saat ini
8. Mengungkapkan optimisme tentang keadaan saat ini danmasa depannya
9. Mengungkapkan perasaan yang positif tentang hubungannya dengan orang lain
10. Membagi nilai-nilai yang diyakini tentang makna hidup
11. Mengenang segi positif kehidupannya
12. Menerima keterbatasannya & mencari bantuan saat dibutuhkan

TUGAS MAHASISWA :
Carilah hak-hak pasien dalam sakratul maut menurut Bill (Bill of Rights)!

IMPLEMENTASI
Tanggungjawab perawat pada pasien sakratul maut adalah membantu pasien menghadapi kematiannya. Tanggungjawab khususnya adalah :
1. Membantu membebaskan pasien dari ketakutan, kesepian & depresi
2. Mempertahankan rasa aman pasien, rasa percaya diri, martabat & hargadiri
3. Mempertahankan harapan
4. Membantu pasien menerima kehilangan
5. Memberi rasa nyaman

Membantu klien meninggal dengan hormat
Kehormatan adalah kemampuan untuk berfungsi sebagai seorang yang berarti & pribadi yang utuh. Ketergantungan pada orang lain, kehilangan kontrol terhadap diri maupun interaksi dengan lingkungan menyebabkan hilangnya rasa hormat. Dengan memberikan pilihan-pilihan pada individu, perawat dapat menolong klien meningkatkan rasa kontrol, misalnya pilihan lokasi perawatan (di rumah/di RS/di panti dll), pilihan waktu periksa kembali, jadwal kegiatan, pilihan dokter/perawat, waktu kunjungan dll. Seorang klien dalam sakratul maut perlu menemukan arti hidupnya, terus melanjutkan hidupnya walaupun dalam penderitaan dan meninggal dengan tenang. Seorang perawat tidak boleh terpaku pada pikiran bahwa hidup klien akan segera berakhir, tetapi perawat harus membantu mempertahankan kemauan dan harapan hari demi hari. Klien perlu dibantu untuk tetap melakukan kegiatan-kegiatan yang disenanginya misalnya melukis, pergi ke perpustakaan, museum dll. Klien dibantu untuk memperoleh keadaan relaksasi misalnya dengan latihan nafas berirama, latihan ROM pasif. Intervensi perawat harus tetap dapat memneuhi kebutuhan fisik maupun psikologis klien.

Hospice & homecare
Inti dari perawatan hospice, homecare & paliative care bukan untuk mengobati penyakit tetapi lebih pada memberi dukungan dan perawatan pada klien & keluarganya. Tujuannya adalah membebaskan klien dari nyeri dan gejala penyakit, memberi kenyamanan fisik, sosial, emosional dan spiritual.

Memenuhi kebutuhan fisiologis
Masalah Intervensi perawat
Bersihan jalan nafas tak efektif O2 prn
Untuk pasien sadar atur posisi fowler (semi fowler untuk pasien tidak sadar)
Suctioning prn
Kurang perawatan diri : mandi, higiene Mandikan klien dan sering ganti linen bila berkeringat banyak
Bantu memakai “daytime clothes”
Bersihkan kotoran di sudut mata dengan cotton bud yang lembut
Perawatan mulut untuk mulut yang kering
Kerusakan mobilitas fisik Bantu klien keluar dari kamar secara berkala jika masih mampu
Ubah posisi tempat tidur sesuai keinginan klien
Atur posisi tidur miring untuk mencegah aspirasi
Tinggikan kaki saat duduk untuk mencegah akumulasi darah di kaki
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh Beri antiemetik sesuai advis
Beri minuman yang sedikit beralkohol untuk meningkatkan nafsu makan
Diet tinggi kalori & vitamin
Kekurangan volume cairan aktual/resiko Beri makanan cair, setengah padat dan lunak dengan hati-hati karena reflek menelan menurun
Lanjutkan pengkajian reflek menelan
Konstipasi Laksantif prn
Perubahan pola eliminasi Perawatan kulit perianal
Sediakan alat bantu dekat klien : bedpen, urinal, bel/lampu
Pasang alas yang menyerap cairan (misalnya underpad), ganti linen segera bila basah
Pertahankan ruangan bersih, bebas bau tidak sedap
Perubahan sensori perseptual penglihatan Klien perlu suasana terang
Pendengaran belum berkurang, bicaralah yang jelas dan jangan berbisik-bisik
Sensori sentuhan berkurang, tetapi klien akan merasakan sentuhan yang menekan

Spiritual support
Menurut Conrad (1985), kebutuhan spiritual klien sakratul maut adalah mencari arti hidup, mendapatkan pengampunan, cinta dan harapan. Tanggungjawab perawat adalah memastikan klien memperoleh apa yang dibutuhkannya melalui intervensi secara langsung maupun menghubungkan klien dengan pemuka agama yang sesuai. Perawat tidak boleh memasukkan keyakinannya sendiri pada klien tetapi berespon sesuai dengan latar belakang keyakinan/agama klien. Tindakan yang bisa dilakukan perawat misalnya memfasilitasi express feelling, berdoa, meditasi, membaca, berdiskusi dengan pemuka agama
TUGAS MAHASISWA : Carilah dari masing-masing agama Kristen, Katolik, Islam, Hindu & Budha, mengenai keyakinan tentang apa yang terjadi setelah kematian dan ritual agama jika seseorang meninggal

Tindakan keperawatan untuk keluarga yang berduka :
1. Jalin hubungan dengan keluarga
2. Jangan membiarkan yang berduka terasing
3. Pertahankan perspektif dengan mengajak keluarga memberi pelayanan pada klien
4. Beri kesempatan keluarga untuk berduka cita, jangan memperlihatkan perilaku yang tidak bisa dimengerti. Ungkapkan kasih sayang, membungkuk sedikit ke depan, jangan berpaling muka, biarkan mereka menangis, ulurkan tangan, merangkul, memegang tangan
5. Bermurah hati, misalnya tawarkan bantuan sewaktu-waktu
6. Himbau keluarga untuk menemani saat ritual ataupun beberapa waktu sesudahnya
7. Himbau anggota keluarga mengambil alih fungsi, misalnya penyediaan makanan, menjalankan perintah dll

PERAWATAN JENASAH

Perubahan tubuh setelah kematian :
1. Rigor mortis/kaku mayat
Rigor mortis adalah kekakuan tubuh yang terjadi dalam 2-4 jam setelah kematian. Hal tersebut merupakan akibat kurangnya ATP (adenotripospat) yang tidak disintesis karena glukosa yang menurun dalam tubuh orang yang meninggal. Otot menjadi kaku sehingga sendi-sendi sulit digerakkan. Rigor mortis dimulai dari otot-otot involunter (seperti jantung, blader dll) lalu berangsur ke kepala, leher, dada & akhirnya seluruh ekstremitas. Perawat perlu mengatur tubuh klien yang meniunggal supaya ketika keluarga melihatnya, klien tampak wajar. Rigor mortis akan hilang dalam 96 jam setelah kematian.
2. Algor mortis/penurunan suhu tubuh
Algor mortis adalah penurunan suhu tubuh setelah kematian. Saat sirkulasi berhenti & fungsi hipotalamus sudah hilang, suhu tubuh turun ± 10C (1,80F) tiap jam sampai menyamai suhu ruangan.
Kecepatan turunnya suhu tubuh dipengaruhi oleh :
1) Bentuk tubuh : lebih banyak lemak, lebih lama
2) Suhu saat meninggal : lebih tinggi, lebih lama
3) Pakaian : lebih tebal, lebih lama
4) Suhu kamar : semakin panas, semakin lama
5) Faktor aliran udara (kelembaban) : makin lembab, makin lama
Secara simultan kulit kehilangan elastisitasnya dan mudah rusak, misalnya saat melepas baju atau plester.
3. Livor mortis/lebam mayat
Setelah sirkulasi hilang, kulit menjadi pucat, sementara RBC akan pecah dan mengeluarkan Hb sehingga kulit menjadi tampak lebam. Biasanya tampak di ekstremitas bawah.

Jaringan yang sudah mati menjadi lunak & cair karena fermentasi bakteri. Pembusukan tampak pertamakali di sekum, lalu akan semakin jelas dalam 24-36 jam post mortal. Semakin tinggi suhu ruangan, semakin cepat perubahan terjadi. Sehingga tubuh pasien perlu disimpan di tempat yang dingin untuk menghambat proses tersebut. Pemberian balsam bisa menghambat proses atau melalui injeksi bahan kimia ke dalam tubuh untuk menghancurkan bakteri.
Seorang pasien yang meninggal harus disahkan oleh dokter dengan dibuatnya surat keterangan kematian. Beberapa kematian memerlukan otopsi (pemeriksaan setelah kematian)

Tindakan perawat untuk klien yang sudah meninggal :
1. Persiapan perawat :
1) Pakai skort dan sarungtangan
2) Siapkan brankart
3) Siapkan pakaian yang diinginkan keluarga
4) Siapkan alat ; baskom, handuk, baskom kecil, gunting, pinset, alat cukur, kapas yang besar, kain alas, kantung plastik
5) Surat kematian
2. Pastikan lingkungan bersih & nyaman
1) Bersihkan semua peralatan dari tempat tidur klien
2) Beberapa RS membiarkan semua peralatan tetap menempel di badan klien, ada yang memotongnya dan meninggalkannya ± 2,5 cm dari tubuh klien lalu diplester
3) Linen yang kotor diganti untuk menghilangkan bau

3. Atur posisi klien :
1) Terlentang
2) Kedua lengan disamping menghadap ke bawah atau ditekuk di atas perut
3) Lengan baju dibiarkan saja kecuali terlalu menekan
4) Diberi 1 bantal
5) Kelopak mata dikatupkan, dipertahankan beberapa menit supaya bisa tertutup
6) Gigi palsu dipasang lagi supaya muka tampak natural
7) Dagu diganjal handuk supaya mulut bisa tertutup
4. Atur penampilan klien :
1) Pasien dimandikan tetapi di beberapa tempat hanya kulit yang basah dicuci. Di Amerika klien tidak perlu dimandikan secara lengkap (umumnya memandikan diserahkan pada mortician)
2) Isilah rektum dengan kapas besar, tekan kandung kemih agar kosong
3) Pasang underpad/alas di bawah pantat untuk menampung keluaran dari anus
4) Kuku dibersihkan, dipotong, laki-laki dicukur
5) Beri pakaian sesuai yang diinginkan
6) Pasang jubah/baju panjang
7) Rambut disisir dan diikat
8) Lepaskan cincin kecuali cincin kawin
9) Pasang kacamata (jika diinginkan)
10) Ujung linen bagian atas diatur sampai menutupi bahu
5. Fasilitasi kenyamanan untuk keluarga
1) Siapkan kursi cukup dan nyaman
2) Barang-barang klien dikumpulkan untuk dibawa keluarga
6. Beri identitas di kaki
7. Setelah dilihat keluarga, tubuh pasien dibungkus dengan kain katun atau semiplastik
8. Beri identitas lagi di luar kain pembungkus
9. Bawa ke kamar mayat untuk poendinginan

Buku sumber :
Carpenito, Lynda Juall. (1999). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Editor : Monica Ester. (2001). EGC. Jakarta
Geisler, Norman L. (2003). Etika Kristen Pilihan dan Isu. Literatur SAAT. Malang
Junadi, Purnawan (ed). (1982). Kapita Selekta Kedokteran, edisi 2. Media Aesculapius. Jakarta
Kozier, Erb & Olivieri. (1991). Fundamental of Nursing Concepts, Process & Practice, volume III. Addison-Wesley Publishing Company, Inc. Redwood City California
Marthoccio, Bernita C. (----). Sakaratul Maut, Maut & Ditinggal Maut dalam buku Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Unit I. Terj. Yayasan IAPK Pajajaran Bandung